Pada Januari lalu, manga “Undead Unluck” karya Yoshifumi Totsuka menerbitkan bab terakhirnya setelah lima tahun hadir di majalah Shōnen Jump. Tanpa membahas spoiler, bab terakhir berjudul “Chapter 239: Deadluck” pasti memuaskan para penggemar, meskipun mereka akan merindukan karakter utama, Fuuko Izumo dan Andy. Bagi kebanyakan orang, hal ini mungkin tidak terasa begitu penting karena setiap manga memang pada akhirnya akan selesai. Apalagi, anime “Undead Unluck” baru saja dimulai, jadi penggemar masih bisa menikmati kisah mereka dalam waktu yang cukup lama.
Namun, akhir dari “Undead Unluck” sebenarnya memiliki makna yang lebih besar dari yang disadari banyak pembaca manga. Manga ini selesai hanya seminggu setelah “Mission: Yozakura Family” karya Hitsuji Gondaira berakhir setelah enam tahun berjalan. Kedua judul ini menyusul dua manga besar Shōnen Jump lainnya yang juga berakhir di tahun yang sama. Ini menandakan bahwa era besar bagi Shōnen Jump serta para penggemar manga dan anime sedang berakhir.
Manga dari Era 2010-an Kini Sudah Tamat
“Undead Unluck” dimulai pada tahun 2020, menjadikannya salah satu manga termuda di generasinya. Manga ini termasuk dalam gelombang baru Shōnen Jump yang terbit antara akhir 2010-an hingga awal 2020-an, setelah era “Big Three” (Bleach, Naruto, dan One Piece) mulai mereda. Selain “Undead Unluck,” manga lain dari generasi ini termasuk “Mission: Yozakura Family” (2019), serta “The Elusive Samurai” dan “Sakamoto Days” (2020).
Namun, beberapa bulan sebelum “Undead Unluck” berakhir, dua judul besar lainnya, “My Hero Academia” dan “Jujutsu Kaisen,” juga tamat. “My Hero Academia” karya Kohei Horikoshi berakhir pada Agustus 2024, sedangkan “Jujutsu Kaisen” karya Gege Akutami menyusul pada September 2024.
Dalam waktu singkat, empat manga besar telah berakhir, termasuk dua di antaranya yang merupakan salah satu blockbuster terbesar dalam sejarah anime dan manga. Hal ini membuat banyak orang merasa bahwa sebuah era dalam sejarah Shōnen Jump benar-benar sudah selesai. Jika dilihat sekilas, keempat manga ini tampak tidak memiliki banyak kesamaan selain penerbitnya dan waktu tamatnya.
“Jujutsu Kaisen” mengisahkan pertarungan penyihir modern melawan kekuatan jahat kuno. “Mission: Yozakura Family” bercerita tentang kisah cinta di tengah perang dua klan. “My Hero Academia” adalah jawaban dunia manga terhadap komik superhero Amerika. Sementara “Undead Unluck” sulit dikategorikan karena memiliki begitu banyak elemen, namun pada dasarnya adalah kisah cinta penuh aksi dengan kekuatan super.
Meskipun berbeda tema, semua manga ini memiliki satu kesamaan: mereka terinspirasi dari manga klasik tetapi dikemas dengan gaya modern. Misalnya, “Jujutsu Kaisen” terinspirasi dari “Bleach” dan “Hunter x Hunter.” “Mission: Yozakura Family” memiliki kemiripan dengan “Katekyō Hitman Reborn!” Sementara “My Hero Academia” dipengaruhi oleh “Naruto.” “Undead Unluck” bahkan menghidupkan kembali gaya komedi ecchi klasik dengan unsur humor yang sedikit “nakal” tetapi tetap dalam batas yang wajar.
Shōnen Jump selalu memiliki pola ini: manga baru mengambil inspirasi dari manga lama dan kemudian berkembang dengan cara yang unik. Meskipun era ini telah berakhir, karya-karya ini telah membuka jalan bagi generasi mangaka dan cerita baru yang akan datang.
Undead Unluck dan Tren Baru yang Mengkhawatirkan
Berakhirnya “Undead Unluck” juga menunjukkan adanya perubahan besar dalam industri manga. Shōnen Jump tampaknya mulai menjauh dari manga yang berjalan lama. Terlepas dari seberapa populer atau berkualitasnya, “Undead Unluck,” “Mission: Yozakura Family,” dan “Jujutsu Kaisen” semuanya berakhir dengan kurang dari 300 bab. Mereka juga hanya berjalan selama lima hingga enam tahun.
“My Hero Academia” menjadi pengecualian karena memiliki lebih dari 400 bab dan berlangsung selama satu dekade. Jika dilihat sekilas, hal ini mungkin tidak terlalu aneh, terutama karena semua manga ini berhasil menyelesaikan ceritanya dengan baik. Namun, dulu sangat umum bagi manga populer untuk mencapai lebih dari 500 bab dan berjalan selama bertahun-tahun.
Sebagai contoh, “Bleach” membutuhkan 15 tahun untuk menerbitkan 686 bab. “Naruto” (termasuk “Naruto: Shippuden”) juga berlangsung selama 15 tahun dengan total 700 bab. Di luar Shōnen Jump, “Fairy Tail” diterbitkan selama 11 tahun dengan 545 bab. Dulu, manga sepanjang “My Hero Academia” adalah hal yang biasa, bukan sesuatu yang langka.
Namun, banyak manga baru yang dimulai antara akhir 2010-an hingga awal 2020-an jarang mencapai 300 bab atau lebih dari enam tahun terbit. Misalnya, “Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba” berakhir dengan 205 bab hanya dalam empat tahun, sementara “Dr. Stone” tamat dengan 232 bab dalam lima tahun.
Bukan hanya Shōnen Jump yang mengalami hal ini. “Call of the Night,” yang diterbitkan oleh Weekly Shōnen Sunday, selesai dengan tepat 200 bab dalam lima tahun. Banyak orang melihat ini sebagai hal yang positif. Manga-manga ini tetap bisa menyampaikan cerita lengkap dalam waktu singkat, yang menandakan keahlian menulis dan menggambar para mangaka. Bagaimanapun, setiap cerita harus memiliki akhir, dan terlalu panjang juga bisa membuatnya kehilangan daya tarik.
Namun, yang membuat tren ini mengkhawatirkan adalah bagaimana industri manga, dan dunia hiburan pada umumnya, semakin mementingkan kuantitas dibanding kualitas. Bukannya memberi mangaka waktu untuk berkembang dan menyempurnakan cerita mereka, penerbit justru mendorong mereka untuk menyelesaikannya secepat mungkin.
Semakin cepat sebuah manga selesai, semakin banyak ruang bagi majalah seperti Shōnen Jump untuk menerbitkan manga baru. Dengan kata lain, industri manga lebih berfokus pada “menghasilkan konten” daripada “membuat karya seni.” Hanya kebetulan jika ada manga yang sangat sukses seperti “Demon Slayer” atau “Jujutsu Kaisen.” Di masa depan, mungkin akan sangat jarang menemukan manga yang bisa berlangsung selama puluhan tahun seperti “Detective Conan” atau “One Piece.”
Kekhawatiran sekarang adalah bahwa manga populer yang masih berjalan seperti “Chainsaw Man,” “Dandadan,” dan “Sakamoto Days” mungkin akan selesai lebih cepat dari yang seharusnya karena mereka mendekati angka 300 bab. Bahkan manga yang lebih baru seperti “Kagurabachi,” yang saat ini baru memiliki 67 bab, mungkin akan dipaksa mengikuti tren ini. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa batasnya tetap di 300 bab. Bisa saja nanti diturunkan menjadi 250 atau bahkan 100 bab.
Mangaka berbakat pasti bisa menemukan cara untuk beradaptasi, tetapi tidak semua akan mampu melakukannya. Padahal, mangaka butuh waktu untuk berkembang dan menciptakan cerita yang benar-benar bisa disukai pembaca. Jika aturan tak tertulis ini terus berlanjut, hal ini bisa membatasi kreativitas mereka, memperpendek umur suatu serial, dan bahkan menghambat perkembangan manga sebagai seni. Manga yang pendek tetap bisa dinikmati, tetapi semoga saja Shōnen Jump dan majalah lainnya tidak hanya fokus pada cerita yang cepat selesai.